Mukhramal, Istinsyaq & Keringnya Uang Politik Pilpres

Written by:

RAMAL dan Aku di teras bengkel mobil Jl Kumala, Makassar, sehari sebelum pilpres 2024, Selasa 13 Februari.

SYUKURILAH temu tak terjadwal dengan kawan lawas.

Itu bukan kebetulan biasa. Itu satu nikmat luar biasa dari TuhanMu.

Selasa (13/2/2024) sore tadi, saya bertemu konco lawas, Mukhramal Aziz.

Locusnya, kala ia menyeberangi ruas Jalan Kumala, 1.1 km utara rumahnya dan kantorku, di selatan kota.

Sebelum bercakap di teras bengkel mobil, kami berulur jabat dan berdekap erat.

Kala Vespa Piaggio 1987 kustandar samping, kulihat boks spion mobil Mazda CX-5-nya, tengah dibenahi mekanik.

“Ini mobil tuaku. Mobil duluku. Masih bagus toh” ujar Ramal, sapaannya.

Ramal mengenal mukaku tapi sudah susah melafal identitas verbalku.

Itu terkonfirmasi saat kutanya, “siapa namaku nah..?”

Dia cuma menjawab dengan senyum.

Aku maklum. Lalu kularas doa batin; “semoga saudaraku ini segera sembuh.”

Selepas anfal, sarjana ilmu keguruan IKIP Ujungpandang, 1996 itu tak lagi seperti sedia kala.

Empat tahun lalu, Mukhramal terserang Angin Ahmar.

Dokter menyebutnya ia mengalami posttraumatik karen aliran darah ke otak menggumpal.

Baberapa kemampuan motorik, perilaku, bahasa dan memori verbalnya susah terangsang.

Muhramal banyak kehilangan Verbatin dan adjektiva.

Beberapa sel dan tali temali ingatan di otak kirinya mengejang, stroke.

Cobaan medik ini menyerang ingatan dan mengganggu pelafalan narasi dialognya.

Dulu, Muhramal adalah jurnalis politik dengan segudang kosa kata benda, kata ganti, dan kata sifat.

Kuakui, aku banyak belajar darinya.

Selasa kemarin, bahkan identitas nama orang dan nama jalan pun dia kesulitan.

Lantas Kuingat pesan seorang dokter neurologist. “Pasien poststroke, selalu butuh teman bercerita.”

Pun, kuputuskan menunda pulang lebih lama.

Muhramal senior setahun saat aku bergabung jadi reporter di Harian FAJAR, 1998 silam.

“Saya sudah 52 tahun besok. Kamu berapa..?” Ramal berseloroh dalam kalimat tanya.

“Juni besok aku 50,” responku dengan acungan 5 jari.

Tetiba, Ramal spontan bereaksi. Ia acungkan jari telunjuk.

“Saya satu. Pilih Anies, besok Bos!..” kata pria kelahiran Cina, Bone itu.

Bulan lalu, didamping Jusuf Kalla san Ismail Bachtiar, capres nomor urut satu itu memang kampanye di Cina, 21 km selatan Watampone.

Wow, “gairah politiknya mulai terangsang lagi,” batinku.

Hampir 60 menit kami bersama.

Dengan bangga ia cerita shalat lima waktu jadi penguat sabarnya, empat tahun terakhir.

“Delapan kali aku shalat sehari..” ujarnya sambil naikkan 8 jarinya.

Ramal membenarkan saat kurincikan; 5 shalat fardlu dan 3 shalat sunah utama; tahajjud, syuruq dan dhuha.

“Yaaa, yaa! betul,” ujarnya dengan mata berair.

Ia kulihat sumringah dan menyimak betul, kala kujelaskan mukjizat Istinsyak; menghirup air dari cekungan telapak tangan.

Satu dari 8 sunnah wudhu ini, adalah terapi memasukkan “hO2, oksigen air ke lubang hidung,” baik untuk cegah dan pemulihan pascastroke.

Di dunia medik, istinsyaq adalah self nasal irrigation. Ini aktivitas sederhana dengan membasuh rongga hidung dari segala partikel sekaligus menyalurkan udara segar ke rongga otak.

Aku pun coba beri contoh dari air mineral minuman kami.

Setidaknya lima kali dia praktikkan.

“Sakit hidungku..”

Kujawab; “kalo sudah seminggu tidak lagi..”

Ramal pun berterima kasih dengan menyedekap dua tangan di dada.

Dialog kami nyambung putus.

Ia mengaku sudah 2 tahun tak merokok dan ngopisusu.

“Merokokmi tapi asapnya buang sana, bukan sini.” ia tunjuk hidung jambu airnya.

Memang, Perihal politik dan sosial Muhramal salah satu kawan dialog paling enakku.

Ulasannya selalu spontan, realis, sedikit idealis tapi sinis lucu.

Dengan narasi sederhana, Ramal coba gambarkan kontestasi politik kursi presiden dan uang politik untuk pemilih urban.

“Tak ada politik uang lagi,” tukasnya ketus.

“Kenapa?” aku balik tanya.

“Caleg dan capres sudah bagi-bagi uang pakai OVO, pakai GoPay..” ujarnya seraya tunjukkan aplikasi fintech di iPhone seri enamnya.

Aku terbahak kuat.

Para montir pun katawa hebat.

Muhramal masih melucu dengan spontanitasnya.

Setengah jam jelang shalawat tahrim di masjid, aku pamit pulang.

Muhramal mengajaku foto lagi.

Kami berfose di samping mobil SUV putih.

Pemotretnya si montir mobil.

Di matanya kulihat air bening.

Mataku pun ikut berlinang.

Sembuhki cepat Mal!

Makkawari, 13 Februari 2024

Leave a comment