Berada di Koordinat LS 03 15m,12.05

serial sebelumnya – 7. Katumbangan, Biar Tak Hilang seperti AdamAir

Di perjalanan kami istirahat sekali. Untuk memakan roti, minum aqua, dan merokok.
Ini sekaligus memberikan kesempatan bagi Suardi untuk bernafas panjang.
GPS yang kubawa kuaktifkan. Lima satelit berhasil didapat perangkat elektronik penunjuk arah, penunjuk jarak, elevasi, dan peta pencitraan satelit.
Elevasi, ketinggian kami, di GPS generasi keempat buatan Garmin itu menunjuk ketinggian 1.500 meter diatas permukaan laut .

Titik koordinat menunjukkan LS 0315m,12.05 dan LT 119, 13 m,03,07. Kubuka catatan lokasi koordinat yang dilaporkan Singapura dengan ELBA Adam Air yang dinyatakan hilang 1 Januari lalu.
Titiknya hampir berdekatan, LS 03*13m,09.05 dan LT 119, 09 m,03,10. Di titik itu secara otomatis muncul tulisan Rangoan.
Dengan empat satelit, margin error GPS itu hanya sekitar 14 meter. Kian banyak satelit yang mengkonfirmasi kian akurat satu posisi. “Wah kita semakin dekat ini ke Rangoan,” kataku pada Suardi.

Suardi mengatakan, kira-kira setengah jam lagi, desa tujuan akan terlihat. “Kalau lewat Batu Kedde, sisa satu tanjakan dan lihat rumah kebun,” kata Suardi mengingat perjalanannya ke Matangnga, dua tahun lalu.

Perjalanan dilanjutkan setelah istirahat dengan satu batang rokok Dji Sam Soe-ku. Lalu untuk keenam kalinya dia memintaku turun dari boncengan. Jalan tanjakan di depan kami memang curam. “Ini mi Batu Kedde ini,” katanya.

Aku menanjak kira-kira 50-an langkah. Tapi keringatku yang keluar seperti habis berlari mengitari lapangan sepal bola sekali.
Aku terduduk ketika motor KTM Suardi masih meraung dari jarak 10 langkah di bawahku. Dia juga turun dari motornya. Aqua yang telah kuisi dengan air saluran dan sungai kecil ke-12 yang kami lalui kuteguk, setengah dan kusisakan untuk Suardi.

Aku barbalik. Woww, ada hamparan hijau di belakangku. Rasa lelahku berubah jadi takjub dan senang,. Seperti lapangan golf yang menyambung tiga punggung bukit, di ujung timur hamparan hijau itu kulihat asap dari belakang rumah kebun yang terlihat seperti tumpukan empat kardus indomie. “Ini padi gogo,” kata Suardi merespon kekagumanku.

Lalu aku baru sadar kalau pagi tadi membeli kamera pocket SLR. Kujepret dua tiga gambar. Termasuk meminta Suardi memotretku. Kuajari dulu sekitar satu menit membidik, dan menindis shutter shoot.

Tapi dia masih gemetar. Kuminta dua kali dia mengulang jepretannya, aku takut momen pemandangan sore hari itu gagal kuabadikan dengan baik. Semoga Suardi sukses mengeksekusi, itu harapan besarku.

Perjalanan dilanjutkan. Seteleh dua jam setengah kami mulai melihat orang. Itupun mereka sudah bergegas pulang ke rumah. Saya menyapa seorang bapak dengan anaknya dengan senyum. Si bapak melambai, sedang si anak membalasnya lebih, tertawa senang dan berteriak, “Ada..daaa.,”

Suardi memintaku turun lagi dari belakannya. “Ini terakhir mi Pak,” katanya. Jalanan menurun di depanku. Jika saat menanjak butuh sekitar 5 menit dan kaki begitu berat diayunkan, kini aku seperti meluncur. Langkah begitu cepat dan tidak melelahkan lagi.

Seperempat jam kemudian, dari kejauhan kulihat kilauan atap seng rumah diterpa lembayung sore. Ada warna biru, tapi kebanyakan seng berwarna coklat.

Kampung Matangngan di depan mata. Meski sudah terlihat jelas, tapi kami masih butuh seperempat jam lagi sebelum melihat ibu dan gadis Matangnga mandi telanjang di sungai.

Sebelum azan Magrib kami menemukan pos polisi Polsek persiapan Matangnga. Mata warga kampung mengarah ke jalan tak beraspal. Bahkan ada beberapa anak-anak yang mengikuti kami dari belakang dengan teriakan kegirangan dengan berlari.

“Mau ke tumah Pak KUA, Burairah,” kataku menjawab pertanyaan soerang warga yang menanyakan rumah tujuan kami.

Pak KUA adalah teman dari teman sepesantrenku 15 tahun lalu di Pondok Pesantren DDI Mangkoso, Barru, Ismail Ibnu SAg.

Dia kini jadi kepala KUA di Mapilli, itu kecamatan setelah Wonomulyo.
Dia memberikan nama KUA itu saat kutelepon, sehari sebelumnya dari Makassar.
“Wah Pak KUA tinggal di Tapango, sudah lama dia tak kesini,” kata warga itu.

Keterangan itu sempat membuatku tak percaya pada rekomendasi temanku. Tapi sudahlah, aku punya kartui pers dan bisa langsung ke rumah Pak Desa, camat, atau pejabat pemerintah lainnya.

Betul kami diterima dengan ketengan oleh Pak Desa Matangnga, Muallim, dan Kapolsek Persiapan Matannga, Aiptu Muhammad Ali. “Tidur disini saja Pak,” kata Pak Kapolsek menunjuk rumah dinas Camat Matangnga, Hamzah.

Malam itu kerena kecapekan saya tertidur pulas di rumah yang baru berusia sekitar setahun itu. “Oh inilah rumah beratap biru yang tadi kulihat setelah lewat Batu Kedde,” ujarku sesaat setelah keluar menghisap rokok.

Malam itu tak banyak informasi yang kudapat. Informasi resmi hanyalah sekitar pukul 12 siang tadi, Pak Camat, untuk kelima kalinya, melepas sekitar 30 orang, atau tiga regu untuk menyisir gunung dan hutan sebelah barat, atau yang berbatasan langsung dengan Mambi, Kabupaten Mamasa, Sulbar.

bersambung….