Mudik Natal, 34 Mahasiswa Pegunungan Papua Bayar Rp 26 Juta, Dorong Mobil 0,5 Km, Jalan Kaki 115 Km

Written by:

TOUR TRANS JAYAPURA-JAYAWIJAYA – Sedikitnya 23 dari 34 mahasiswa dari 2 asrama Distrik Pasema dan Samenage, Yahukimo di Jayapura berfose di km 340 trans Jayapura-Wamena/ Jayawijaya, 18 Desembet 2021 lalu. Mereka adalah kelompok pertama yang menjajal jalur darat Trans Papua pengunungan tengah.

BERSAMA 33 rekan seasrama mahasiswa di Kota Jayapura, Amin Momiage (24 tahun), mudik Natal dan Tahun Baru 2022 ke dua kampung di Yahukimo, kabupaten pedalaman Provinsi (baru) Papua Pegunungan.
Tiga hari dua malam, mereka menyusuri +585 km Jalur Trans Papua, Jayapura ke Wamena.
Karena longsor di Kilometer 320, mobil yang disewa Rp 13 juta, harus kembali ke Terminal Tanah Hitam, Jayapura. Perjalanan ke Elelim – Wamena, dilanjutkan dengan jalan kaki 18 jam.
Setelah istirahat 2 hari di Wamena, ‘perjalanan spiritual’ berjarak tempuh total +671 km itu ternyata belum berakhir.
Bersama 20 warga sekampung, mereka naik minitruk 4X4 lagi selama 11 jam, tidur di Goa Batu Hetang dan lanjut berjalan kaki lagi, sehari; sekitar 79 km.
Saat tiba di kampung halaman, Distrik Pasema dan Samenage, tenggara Yahukimo, warga dua kampung menyambut mereka dengan pesta ‘Bakar Batu’.
Lima ekor babi Wamena jadi santapan 3 hari pasca-Natal.
Ringkasan mudik Natal enam paragrap diatas, dikisahkan ulang Amin Momiage, di newsroom TribunPapua.com, kawasan Gurabesi, Kota Jayapura, Jumat (20/1/2023).
Dua tahun masa pendemi COVID-19 (2019 hingga 2021), dan naiknya ongkos pesawat terbang, justru kian menumpukkan kerinduan mereka ke kerabat.
Itulah kenapa, dari ujung perbatasan utara Indonesia-Papua Nugini, Kota Jayapura, ke-34 mahasiswa ini membelah dua gunung tertinggi di Tanah Papua; Puncak Trikora (4.750 mdpl) dan Puncak Mandala (4.700 mdpl) sebelum Natalan di distrik punggung selatan Lembah Baliem.
Momen Natal memang jadi motif utama ke-34 mahasiswa ini pulang kampung.
Motif lainnya lebih idealis; mereka ingin menjajal sensasi proyek infrastruktur Jalur Trans Papua, koridor Jayapura-Elelim-Benawa-Wamena (588 km).
“Kami ingin bukti, benarkan adik-adik kami bisa lewat darat ke Jayapura, seperti janji Presiden Jokowi,“ ujar Ketua Ikatan Pelajar/Mahasiswa Distrik Samenage Yemius Wetapo, mewakili aspirasi 33 rekannya.

Amin Momiage (24), salah satu mahasiswa asal Distrik Samunage, Yahukimo yang menceritakan kisah perjalanan mudik Natalnya melintasi Trans Jayapura-Wamena/ Jayawijaya, Rabu (15/1/2023) di kantor TribunPapua.com, Jayapura.


Dari ke-34 mahasiswa petualang, ada dua koordinator lapangan dan seorang tour guide. Mereka adalah Rayus Esema, Meyenius Momiake dan Eli Esema.
Perjalanan ini mendapat restu dari Hengius Giban (Ketua IPM Distrik Pasema) dan Distrik Samenage Yemius Wetapo (Ketua IPM Distrik Samenage).
“Kita berangkat difaslitasi dan dibantu sama Papa Elfius Sugi, pejabat Papua induk dari Yahukimo,” kata Amin, merujuk hsil rapat sebelum berangkat, 15 Desember 2021 lalu.
Elfius adalah Kepala Biro Protokol Pemprov Papua. Ia kelahiran kampung sekitar distrik Samenage dan Pasema. Ongkos mobil dan sebagian biaya perjalanan dari Jayapura ke Wamena dan kampung adalah ‘berkat’ dari senior mereka.
Mahasiswa petualang itu antara lain; Deki (STIPER Sentani), Erian, Patuale, Netenius, Yelmin, Sana, Nelina, Agustina, Amin Momiage, Rayus, Meyenius, Ando, Nakiris, Naco, Jemius, Yelmi, Nelina, Imanius, Ero, dan Bernand.
Mereka bermimpi menjadi rombongan mahasiswa pegunungan pertama yang melintasi Trans Pegunungan tengah Papua.
Mereka berangkat dari terminal Tanah Merah, di sekitar Teluk Youtefa, Jayapura, pada Rabu (15/12/2021).
Mereka menyewa dua minitruck jenis Starda Triton, double cabin. “Supirnya dari Sulawesi,” ujar Amin.

AHMAD BUCE – Supir Trans Jayapura-Wamena di rumahnya di kawasan Tanah Hitam, Abepura, Jayapura, Papua, Minggu (12/1/2023). Buce adalah perantau asal Maros, Sulsel yang sudah 15 tahun jadi supir di pedalaman Papua.


Dari pantauan Tribun di terminal Tanah Merah, Minggu (22/1/2023), mayoritas penyedia jasa angkutan double gardan Trans Jayapura-Wamena, memang urban perantau asal selatan Sulawesi.
“Kalau Triton, Makassar atau Bugis, kalau truk Carten double garda Toraja atau Enrekang,” kata Ahmad Buce (45) di Tanah Hitam, Abepura.
Dari ‘terminal bayangan’ Tanah Hitam inilah, Amin dan 33 rekan seasramanya memulai mudik spiritual sekaligus petualangan jalur darat pedalaman tengah Papua.
Mereka menyewa dua unit mobil Triton. Memang hanya mobil jenis empat penggerak roda (4X4) inilah yang bisa melintasi medan diatas 2000 mdpl Tanah Papua.
Sewa tiap mobil disepakati Rp 13 juta. Total dibayar Rp 26 juta.
Hitungan sederhananya, tiap penumpang membayar Rp 1,1 juta.
Jangan kaget, tiap mobil itu diisi 18 orang, termasuk supir.
Mobil Amin bersama dua mahasiswi dan 16 mahasiswa.
Mobil kedua 16 mahasiswa; tiga perempuan dan 13 laki-laki.
Bayangkan kapasitas ideal mobil Triton, hanya lima penumpang kabin tertutup, dan lima di kabin terbuka.
Namun, “di depan ketua rombongan dan supir. Di kabin tengah 3 wanita, plus dua mahasiswa.
Sisanya, 9 orang di kabin belakang. “Saya tak tahu kenapa OAP (orang asli Papua) tak suka di dalam, maunya di belakang.,” kata Buce’, menggambarkan kebiasaan penumpang Trans Jayapura – Wamena.
Sebelum berangkat, para mahasiswa ini membawa bekal. Lima kilogram beras, dua kardus mie instant, 5 galon air, telur, buah pinang, dan tiga bilah parang.
Sedangkan supir, membawa 1 kg beras, 1 kardus mie instant, 3 slot rokok, sebilah parang, dan lima galon 50 liter solar cadangan.
“Ini bukan Sulawesi, yang tiap kabupaten ada SPBU. Di trans Papua, hanya di Kerom, Elilem (ibukota Yalimo), dan Wamena,” kata Amin.
Soal kenapa harus bawa 3 slot rokok Gudang Garam, “Saya palingan satu slot. Sisanya….,” Buce hanya menjawab tersenyum.
Jalur Trans Papua ini idealnya ditempuh 2 hari satu malam. Itu di musim kemarau, saat jalan tak berlumpur, dan tak ada longsoran.
“Mulai November hingga Maret (musim basah), kalau beruntung bisa satu minggu. Kembali lagi ke Jayapura, setengah bulanlah.”
Perjalanan para mahasiswa ini bukan kategori beruntung.
Niat mereka menjajal trans Jayapura – Wamena dengan mobil, namun ternyata mereka masih harus berjalan kaki.
Mereka adalah mahasiswa lintas kampus di Jayapura, Universitas Cenderawasih (Uncen), Universitas Yapis, Universitas Muhammadiyah Papua, dan STIPER Sentani, dan rerata sudah semester akhir.
Kisah perjalanan ini punya drama sendiri. Kendaraan double cabin Triton Mitsubishi, yang idealnya memuat 8-9 penumpang. Nah, justru ‘dipaksa’ memuat hingga 16 orang.
Di kabin depan, hanya dua; supir dan koordinator. Di kabin tengah, idealnya tiga seat justru berdesakan hingga 5 orang. Kebanyakan perempuan.
Di kabin terbuka, di belakang penumpang 9 hingga 11 orang.
“Anak Papua itu, memang senangnya berdiri di belakang, pakai tenda kalau hujan,” kata Buce, supir trans Papua.
Keluar dari wilayah Abepura, kira-kira setengah jam kemudian, yang tampak di kanan kiri mobil, adalah hutan belantara.
Sepanjang 162 km, mulai dari Kota Jayapura, Jembatan Merah Youtepa, Arso (Kerom) – Arso PIR – Wembi – Waris — Distrik Senggi, transmigran Satuan Pemukiman (SP I – II), mobil masih bisa jalan 70 hingga 80 km per jam.
Perjalanan melambat, saat masuk di kilo meter 200-230. Ini perbatasan Kerom dengan belantara perbatasan Mambramo.
Ini sudah ujung aspal, pertengahan Jayapura – Wamena (585 km) di km 260 hingga km 300 ini kawasan perbatasan Jayapura – Yalimo, mobil merambat 20-30 km per jam.
“Di sini, emoat kali kami turun dorng dan tarik mobil karena tanah longsor dan pohon tumbang,” ujar Amin.
Hiburan pelipur lara, saat masuk di Jembatan Meteor, Sungai Mamberamo.


Konon inilah jembatan terpanjang di Tanah Papua, panjang 235 meter dan lebar 7 meter.
Jembatan gantung di perbatasan Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Yalimo ini, memang eksotik dan jadi tempat berfoto.
Distrik terujung di perbatasan ini adalah Distrik Airu (Kabupaten Jayapura) dan Distrik Benawa (Kabupaten Yalimo).
Mereka menginap semalam di tengah belantara Papua.
Di belantara Benawa mereka masuk pukul 14.00 WIT dan keluar 18.00 WIT.
Di sini mereka mendorong mobil, memasang tenda, memasak bekal mie instant, kopi, soto, dan main kartu. Perempuan memasak, dan pria bergantian berjaga dari binatang liar.
Pukul 05.00 pagi, saat hutan mulai terang, mereka melanjutkan perjalanan.
Hanya tiga jam perjalanan mereka kembali mendorong mobil, membersihkan pohon tumbang di tengah jalan.
Namun, karena medan jalan tak bisa lagi dilintasi kendaraan, akhirnya supir mengalah. Transaksi yang awalnya Rp13 juta 1 unit mobil, akhirnya disepakati hanya Rp12 juta. Artinya, Rp 24 juta untuk sewa dua unit.
Di sini, team memutuskan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.
Di perjalanan daerah Benawa, mereka mampir makan siang di rumah warga. Di sini mulai terlihat rumah-rumah warga.
“Yang pakai atas seng 4 rumah, pakai Honai (rumah tradisonal) ada 6 rumah.”
Untuk jalan kaki mereka membagi tiga kelompok.
Kelompok pertama, berangkat sekitar pukul 14.00 WiT,
ada 4 orang. Dua dari distrik Pasema; Deki, mahasiswa STIPER Sentani, dan Erian. Ada lagi 2 dari Distrik Samenage, Patuale dan Netenius dari Uncen.
Lalu sekitar pukul 04.00 subuh, menyusul kelompok kedua; lima perempuan (Yelmin, Sana, Nelina, Agustina, dan Marsela; 4 dari Distri Samenage).
Dan kelompok ketiga, berangkat pukul 06.00 WIT, berjumlah tujuh orang; Amin, Koordinator Rayus, Meyenius;
Mereka jalan kaki sekitar delapan jam, atau sekitar 65 km. Mereka sampai di Distrik Kobakma, Yalimo.
Di sini, rombongan saling menunggu di rumah warga. Mereka membayar Ro 300 ribu untuk sewa rumah, sebelum melanjutkan perjalanan ke Elelim, ibu kota Kabupaten Yalimo.
Dari Yalimo mereka lalu kembali menyewa dua unit mobil untuk ke Wamena. Tiap mobil dibayar Rp3 juta. Perjalanan dari Yalimo ke Wamena sekitar lima jam, star pukul 13.00 Wita, dan tiba saat matahari terbenam, pukul 18.30 WIT.Kecepatan rerata 60 km per jam.
Di Wamena, mereka beristirahat dua hari di asrama distrik.


Perjalanan belum selesai. Mereka masih harus malanjutkan perjalanan dengan mobil sejauh 170 km, dan berjalan kaki lagi 80 km.
Bingung, karena sudah kehabisan bekal dan uang transpor, akhirnya mereka menelpon meminta tambahan uang akomodasi dan transpor ke tokoh asal Yahikomo di Jayapura.
Tokoh itu adalah Elfius Sug, Kepaka Biro Protokol Pemprov Papua. “Puji Tuhan, kalau tak salah dengar kami dibantu lagi Rp20 juta.”
Amin sendiri mengaku sejak di Jayapura hanya memiliki bekal uang kas Rp400 ribu. Itu dari hasil kerja menjadi buruh bangunan.
Dari Wamena, sekitar 21 orang naik mobil dari terminal ke Distrik Tangma, Yahukimo.
Mereka berangkat jam 07.00 Wit dan tiba pukul 19.00 WiT. Di mobil Strada mereka membaur dengan warga pemudik Natal. Karena mobil terbatas, mobil bolak balik dua kali, untuk mengangkut 14 orang. Sewanya Rp2 juta.
Dari Tangma mereka masuk ke Distrik Ukha, kampung terdekat di distrik tujuan, Samenage.
Di sini mereka jalan kaki mulia pukul 6 pagi hingga pukul 11.00 WIT, tiba di Distrik Ukha.
Mereka tidur di hutan goa Batu Hetang; gua alam yang bisa menampung 20 orang.
Pukul 06.00 pagi, mereka melanjutkan perjalanan dengan kaki telanjang.
Saat makan siang, pukul 12.00 Wit, rombongan dari Distrik Samenage tiba. Mereka sudah disambut dengan pesta Bakar Batu, dengan hidangan 2 babi.
Mereka disambut oleh kepala Kampung Pona, Philip Hugi (50). Di sini, tujuh teman seperjalanan (Marsela anak kepala kampung, Netenius, Rayus, Ando, Nakiris, Sana, dan Naco), tiba. Mereka mencatat itu Selasa, 21 Desember 2021.
Setelah menginap semalam di Honai Pona, rombongan Amin meanjutkan jalan kaki ke Distrilk Samenage. Ini jalan kaki, sekitar lima jam lagi.
Amin (UMP), Mejenius, Jemius, Yelmi, Nelina, Imanius, Ero, dan Bernand dari Uncen, tiba di kampung halaman tanggal Rabu 22 Desember 2021, atau dua hari jelang malam Natal.
Suka cita mereka disambut warga sekampung. Sekitar 100 warga membuat Pesta Bakar Batu dengan empat ekor babi.
Kedatangan rombongan Amin di Sumanage adalah bersejarah. Inilah kali pertama, ada rombongan mahasiswa asal distrik itu yang pulang kampung merayakan Natal dari ibu kota provinsi.
Mereka menempuh perjalanan hampir 900 km, dan sepertiganya ditempuh dengan jalan kaki.
Mereka mencatat sejarah, 34 mahasiswa yang melintasi jalur darat dari kota terbesar Papua ke distrik paling pedalaman di Pegunungan Tengah Papua.
Sebelumnya, ada belasan mahasiswa namun mereka naik pesawat.
Samenage dan Pasema adalah dua dari 52 distrik di Yahukimo. Inilah kabupaten berdistrik terbanyak di enam provinsi di Tanah Papua.
Ke-52 distrik itu juga adalah subsuku dari empat suku utama di gugus timur dataran tinggi Pegunungan Jayawijaya; YA-li, HU-bla, KI-myal dan MO-muna.

Di barat Yahukimo ada kabupaten Nduga. Di barat daya dan selatan ada Kabupaten Jayawijaya dan Yalimo dengan ibukota Distrik Elilem. Sedangkan di timur, berbatasan langsung dengan Kabupaten Pegunungan Bintang (Pegubin) di perbatasan Indonesia-Papua Nugini.
Sedangkan di tenggara dan selatan sudah berbatasan dengan dua kabupaten di Provinsi Papua Selatan, Asmat dan Boven Digoel.

Trans Jayapura-Wamena (ibukota Jayawijaya sekaligus Ibukota Provinsi Pegunungan) ini sekaligus akses utama ke delapan kabupaten di Papua Pegunungan; Yalimo (Elelim), Jayawijaya (Wamena), Tolikara (Karubaga), Yahukimo (Dekai dan Sumohai), Lanny Jaya (Tiom), Memberamo Tengah (Kobakma), Nduga (Kenyam) dan Pegunungan Bintang (Oksibil). (* /thamzil)